Sumenep merupakan salah satu dari 4 kabupaten yang terdapat di Madura, yaitu Kab. Bangkalan, Kab. Sampang, Kab. Pamekasan dan Kab. Sumenep itu sendiri. Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura dan dikenal sebagai ‘Solo’nya Madura dikarenakan logat penduduk Sumenep yang halus jika dibandingkan dengan logat penduduk di 3 kabupaten lainnya. Sumenep memiliki banyak obyek wisata kunjungan, terutama wisata laut. Ia memiliki banyak gugusan pulau kecil yang masih asri dan perawan. Sumenep juga telah menjadi titik penghubung dari Pulau Madura menuju Pulau Kangean yang juga banyak memiliki pulau-pulau kecil indah, seperti Sabeken.
Perjalanan saya ke Sumenep sebetulnya terjadi secara kebetulan dan mendadak. Awal niatan saya untuk mengunjungi Madura muncul karena ada kesempatan. Pada hari Minggu tanggal 18 Oktober 2009 adalah hari pernikahan sepupu saya di Surabaya, sehingga saya berpikir karena saya bisa cuti dari kantor pada hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009, maka ini adalah kesempatan baik untuk mampir ke Madura sebelum menghadiri acara pernikahan sepupu. Niat itu makin menguat mengingat telah didirikannya Jembatan Suramadu yang membuat jarak tempuh dari Surabaya ke Madura menjadi kian singkat.
Kemudian, karena saya sendiri masih belum ‘kenal’ dengan Madura maka 2 hari menjelang keberangkatan saya mulai mencari berbagai informasi mengenai Madura di internet. Setelah menelusuri beberapa situs resmi pemerintah dan beberapa blog orang yang pernah kesana akhirnya saya putuskan untuk pergi ke satu pulau, yaitu Pulau Gililabak di Kabupaten Sumenep karena disana dikenal memiliki wisata taman laut yang indah.
Perjalanan kali ini saya lakukan bersama istri (Maria), adik (Pringgo) dan sepupu (Andar). Total waktu perjalanan dari Bandara Djuanda ke Kab. Sumenep adalah 3,5 jam.
Dalam perjalanan, kami melewati Jembatan Suramadu yang megah dan berdiri kokoh layaknya Jembatan Golden Gate di San Fransisco. Jembatan Suramadu memiliki nilai ekonomis tinggi karena menghubungkan Madura dengan daratan Jawa Timur, tepatnya Surabaya.
Jika dulu penyebrangan dari Madura ke Surabaya harus dilakukan dengan feri selama hampir 2 jam (termasuk prakiraan waktu antri di pelabuhan) maka sekarang hanya dalam 5 menit anda sudah bisa mendaratkan kendaraan anda di Madura berkat Jembatan Suramadu. Menurut saya, Jembatan Suramadu merupakan salah satu karya arsitektur terbaik anak bangsa, bukan karena bentuknya melainkan karena manfaatnya yang saya percaya akan membawa kebaikan bagi masyarakat. Dari beberapa cerita masyarakat sekitar, semenjak didirikannya Jembatan Suramadu, kini banyak masyarakat, baik dari Surabaya maupun luar Surabaya, semakin sering mengunjungi Madura. Hanya saja dikarenakan informasi yang masih sedikit pada umumnya masyarakat yang mengunjungi Madura hanya berkutat di sekitar Jembatan Suramadu, termasuk Kab. Bangkalan. Minimnya informasi mengenai Madura tersebut merupakan tantangan dan permasalahan yang harus dijawab dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat sekitar demi memajukan Madura. Pun, saya menyakini, dengan didirikannya Jembatan Suramadu, Madura kini memiliki kesempatan emas untuk meningkatkan perekonomiannya secara signifikan, sekarang tinggal bagaimana pengambil kebijakan dan masyarakat setempat dapat memanfaatkan momentum tersebut secara strategis dan taktis.
Dikarenakan secara geografis Kab. Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura, maka dalam perjalanan kami melewati tiga kabupaten sekaligus di Madura secara berurutan, mulai dari Kab. Bangkalan, Kab. Sampang dan Kab. Pamengkasan. Selama perjalanan dari Kab. Bangkalan ke Kab. Pamengkasan, tanah sekitar terlihat tandus dan kering. Hal ini dikarenakan karena musim hujan merupakan ‘barang langka’ di Pulau Madura sehingga tanah menjadi mudah tandus. Musim hujan umumnya baru dimulai pada awal Desember hingga pertengahan Februari. Inipun, kami rasakan ketika kami harus berjalan di pinggir jalan Madura pada siang hari, cuaca terik dan panas sungguh membuat kami gampang mengalami dehidrasi. Oleh sebab itu, jika anda ingin melakukan perjalanan ke Madura maka alangkah lebih baik anda menyiapkan stok air mineral guna mengantisipasi dehidrasi yang timbul akibat cuacanya yang panas.
Pemandangan berbeda mulai terlihat ketika kami memasuki Kab. Sumenep. Disana tanah terlihat subur karena banyak terdapat tanaman hijau yang ditanam oleh penduduk sekitar. Namun, tetap satu hal yang tidak berubah adalah cuacanya yang panas dan terik.
Kemudian, sepanjang jalan ke Kab. Sumenep kami menyisir pantai yang gradasi 3 warna lautnya (putih, hijau, biru) membuatnya menjadi pemandangan yang begitu sejuk untuk dilihat. Sesampai di kota, kami langsung memutuskan untuk pergi ke Pelabuhan Kalianget untuk melihat apakah kami memiliki kesempatan untuk menjelajah ke Pulau Gililabak sekarang. Pelabuhan Kalianget terletak sekitar 12 km dari kota di Sumenep dan perjalanan kesana hanya memakan waktu sekitar 15 menit.
Di Pelabuhan Kalianget, kami bertemu penduduk bernama Budi yang banyak membantu kami dalam mendapatkan kapal nelayan setempat yang bisa digunakan untuk menyebrang ke Gililabak. Akan tetapi, dikarenakan kami tiba menjelang senja, maka Budi menyarankan kami untuk melakukan penyebrangan pada esok Subuh agar kami bisa melakukan kegiatan snorkeling yang menjadi tujuan utama kami.
Kamipun mengikuti saran Budi sehingga kami memutuskan untuk kembali ke kota dan menginap di Hotel Utami Semekar. Kami tiba di hotel sekitar pukul 18.00 WIB, dan setelah mandi dan bersih-bersih kami langsung makan sate di pinggir jalan depan hotel. Selama makan di pinggir jalan, kami tidak sekalipun dihampiri oleh pengemis dan pengamen selayaknya di Jakarta sehingga membuat makan malam kami menjadi lebih nikmat jika dibandingkan dengan melakukan hal yang sama di Jakarta. Sesudah perut kenyang, kamipun kembali ke hotel untuk beristirahat. Keesokannya,kami telah berjanji untuk bertemu kembali dengan Budi di Pelabuhan Kalianget pada pukul 4 pagi.

Sunrise di Sumenep
Penyebrangan dari Sumenep ke Gililabak memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya karena kami harus melewati ombak yang bergelombang akibat tiupan angin selatan. Bagi istri saya yang belum terbiasa berada di kapal yang terombang ambing ombak, tentu berada pada situasi demikian sangat mengocok dan memualkan perut. Namun, saya takjub ketika harus melihat sepupu saya Andar yang masih saja tertidur lelap dan ngorok di tengah perjalanan melewati ombak seperti itu.

Musim Terbaik Untuk Memancing
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan selama

Terumbu Karang di Gililabak
Di daratan, kami melakukan sesi foto dengan gaya-gaya yang biasa kami lakukan seperti lari, lompat dan koprol. Disamping itu, kami menikmati pemandangan laut lepas di depan kami dengan gradasi 4 warna sekaligus (putih, hijau, biru, ungu). Kemudian, kami juga menyempatkan diri untuk melihat keadaan sekitar dengan kaki telanjang yang memungkinkan untuk dilakukan karena tidak begitu banyak benda tajam bertebaran. Kami menemukan bahwa Pulau Gililabak hanya dihuni hanya oleh sekitar 10 keluarga secara turun temurun. Penduduk sekitar hampir tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, mereka hanya berbicara dengan bahasa Madura. Dengan bantuan Budi untuk berkomunikasi dengan penduduk sekitar, kamipun bisa menikmati sarapan indomie yang lumayan mengganjal perut.





0 komentar:
Posting Komentar